Kita memang bukan bangsa yang biasa berbeda pendapat secara terbuka. Kita sering rancu membedakan antara berbeda pendapat dengan ketidak patuhan atau tidak menghormati. Dari kecil kita dididik untuk selalu patuh pada orang tua kita, juga di sekolah. Namun kita sering lupa bahwa, dengan bersekolah kita dididik untuk berpikir kritis, dan salah satu caranya adalah dengan berani menyatakan pendapat kita, yang kadang berbeda dengan orang lain. Jadi, berbeda pendapat bukan tidak patuh, bukan pula tidak menghormati, dan juga bukan membuka konflik.
Saya bersyukur memiliki orang tua yang biarpun di satu pihak cukup “kolot” dengan aturan budaya Tionghoa dan Jawa (yang sangat menuntut kepatuhan total), tapi di sisi lain, beliau sangat terbuka, selalu memberikan kesempatan kepada saya untuk berpendapat. Bahkan pada saat saya berbeda prinsip, pendapat saya selalu didengar dengan baik, sebelum beliau mengambil keputusan. Sesudah keputusan diambil, wajib diikuti, tidak bisa ditawar lagi.
Saya diajar untuk belajar 3 hal: berani berpendapat, bisa menyampaikannya dengan sopan, dan mau menghormati keputusan (biarpun berbeda dengan usul kita).
Ternyata jurus “sepele” ini menjadi bekal yang sangat berharga di dunia kerja. Saya beruntung memulai kerja di lingkungan yang mengakomodasi Perbedaan Pendapat, bahkan sampai ke level atasan. Saya melihat dan mengalami betapa keterbukaan itu bisa memperluas perspektif kita semua, asal dilakukan dengan sopan dan bertanggung jawab.
Perusahaan bisa diuntungkan karena mendapatkan ide/sudut pandang yg belum pernah terpikirkan sebelumnya. Tentu saja tidak semua pendapat yg berbeda itu benar/layak untuk dituruti, tapi sebaliknya bisa juga pendapat yg berbeda, yang mungkin datang dari orang yg paling junior di tim kita, ternyata bisa membuka mata kita semua kepada alternatif yang lebih baik.
Masalahnya, mau/berani menyampaikan pendapat, apalagi pendapat yang berbeda, masih belum menjadi “budaya” disebagian tempat kita bekerja. Saya pernah bekerja di suatu tempat dimana staff dan juga Leader nya, tidak berani menyampaikan pendapatnya, karena semua keputusan dibuat di pucuk pimpinan. Akibatnya, di level atas sering tidak paham apa yang sedang terjadi di lapangan. Waktu saya tanyakan, semua staff mengatakan bahwa mereka wajib mengikuti keputusan (dari atas), sebagai bentuk dari kepatuhan. Sebagian lagi mengatakan bahwa mereka takut dengan konsekuensi dari berbeda pendapat dengan atasan.
Sejak mulai bekerja di situ, saya mencoba untuk memberikan input/pendapat saya, baik yang seide maupun yang berbeda, kepada siapapun, termasuk kepada pemimpin perusahaan. Apabila kita berbeda pendapat, saya selalu mencari waktu untuk bisa menyampaikan secara pribadi (bukan di forum), dan dengan sopan dan konstruktif (memberikan alternatif solusi). Pimpinan yang selama ini dipersepsikan tidak bisa dibantah, tidak bisa menerima pendapat lain, ternyata bersikap persis seperti orang tua saya, beliau memberikan kesempatan untuk mendengarkan saran dan bahkan (kadang) kritik saya. Saran saya belum tentu tepat/bisa dijalankan, sehingga kadang ditolak, tapi saya puas sudah diberikan kesempatan untuk berpendapat dan berkontribusi.
Satu faktor terpenting dalam proses bertukar pendapat ini adalah adanya Trust/kepercayaan dalam hubungan kita. Tanpa adanya trust, kita akan membangun “tembok” yang akan menghambat keterbukaan kita dalam menerima pendapat orang lain.
Dengan makin dominannya generasi Millennial dan generasi Z mengisi lapangan kerja kita, saya optimis kita akan bisa makin terbuka. Ini adalah Generasi yang “anti” kemapanan, dan tidak sungkan untuk menyuarakan ide dan kreatifitasnya, via berbagai media. Kalian akan lebih bisa menciptakan suasana yang lebih terbuka, lebih toleran dan lebih kreatif dibanding generasiku. Terimalah perbedaan pendapat seperti kita saling bisa menerima bahwa kalian sudah lama moved on ke Tiktok, sementara generasiku masih juga posting update di FaceBook.
Kalaupun pada akhirnya kalian juga berbeda pendapat dengan tulisan ini,
We can always Agree to Disagree – with mutual respect and harmony.