Konsep parallel/alternate world mungkin sering kita lihat di film-film science-fiction. Salah satunya yang mungkin kebanyakan dari kita tahu adalah film superheroes garapan Marvel Cinematic Universe (MCU). Misalnya pada salah satu sekuel film Dr Strange. Villain dari film tersebut merupakan Dr Strange itu sendiri ‒ tapi dari universe lain ‒, dimana diceritakan Dr Strange dari alternate universe itu menjadi jahat karena gagal menjalani kehidupan yang dia mau.
Sumber: Adobe Stock
Kita seringkali diperlihatkan kehidupan suatu karakter dari sudut pandang “main storyline”, dimana si tokoh berhasil menjalani kehidupan yang dia mau dan berakhir dengan outcome yang bagus. Akibatnya, tidak sedikit dari kita ‒ atau setidaknya saya ‒ memiliki anggapan bahwa untuk mendapatkan outcome atau result yang bagus, satu-satunya cara adalah dengan mendapatkan atau menjalani pilihan utama kita. Oleh karenanya, ketika gagal mendapatkan pilihan utama kita itu, kecenderungan untuk merasa putus asa lebih besar, dan mudah untuk menyerah.
Banyak dari kita seringkali merasa kesal dan kecewa karena gagal dalam mendapatkan/menggapai pilihan utama kita. Ketika akhirnya harus memilih alternatif lain dari apa yang menjadi pilihan utama kita, seringkali kita berandai-andai kalau saja hidup menjalani pilihan utama kita, how happy we could be, how perfect our life would be. Layaknya sebuah “main story” di sebuah film yang memiliki happy ending.
Pada awalnya saya sempat memiliki pemikiran seperti itu. Cerita sedikit, jadi setelah saya lulus SMA, saya kebetulan mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi saya di luar negeri. Tapi ternyata keberuntungan masih belum berpihak kepada saya. Dikarenakan pandemi Covid-19, terpaksa saya harus membatalkan rencana saya itu dan akhirnya harus memilih alternatif universitas lain untuk melanjutkan studi saya.
Merasa kecewa karena gagal menjalani pilihan utama saya itu, saya menjadi skeptis untuk mulai berusaha keras lagi. Berpikir kalau nantinya hasil yang akan saya dapatkan tidak akan sesuai dengan apa yang saya mau, dan tidak akan memberikan kepuasan bagi saya. Bahkan sempat terpikir kalau nantinya saya kurang beruntung lagi dan harus gagal mendapatkan apa yang saya mau, kecenderungan untuk saya merasa putus asa akan semakin besar. Dari situ mulailah muncul pemikiran untuk live my life for granted, malas-malasan, dan cenderung masa bodo.
Sampai pada suatu momen, ketika sedang berbincang dengan salah satu teman, saya ditunjukan sebuah quote yang kurang lebih bertuliskan seperti ini:
“You could be the master of your fate, you could be the captain of your soul. You have to realize that life is coming from you and not at you, and that takes time”.
Yang pada saat itu membuat saya sadar kalau sebenarnya kita memiliki “kendali” untuk menentukan arah hidup kita.
Suatu outcome yang bagus, tidak muncul karena kita mendapatkan pilihan utama kita, tetapi karena kita menjalani pilihan itu dengan sebaik-baiknya. Sehingga dengan motivasi yang sama, bukan tidak mungkin untuk kita mendapatkan outcome/result yang serupa dari menjalani pilihan alternatif, selama kita willing untuk melakukannya dengan usaha terbaik. Karena pada akhirnya, kita sendiri yang “menulis” cerita hidup kita. Sehingga itu semua tergantung pada bagaimana kita menyikapi hal itu. Kita sendiri yang mampu merubah “alternate storyline” itu menjadi “main storyline”, and make it end happy like the main story in the movie.
“Just so you know that the magic you are looking for, sometimes is in the work you are avoiding”. Kurang lebih seperti itu nasihat yang pernah saya dapat dari salah satu teman, yang akhirnya mendorong saya untuk mau berusaha keras lagi, dan selalu memberikan yang terbaik dalam menjalani segala kesempatan yang diberikan kepada saya ‒ even if the work is something that I don't like to do. Saya sadar kalau terkadang kerja keras tidak akan menjamin suatu kesuksesan. Tapi setidaknya saya tahu, dengan tidak berusaha keras sama sekali, menjamin kita tidak akan mencapai kesuksesan.